sebelumnya, penulis ingin bertanya “apakah anda pernah merasakan nyawa anda hampir berpisah dari tubuh???”, dari pertanyaan tersebut mungkin akan timbul banyak jawaban, beberapa mengatakan pernah, ada yang belum (jangan sampe dah!!!), bahkan mungkin tidak menjawab sama sekali (GOLPUT).
Ini merupakan pengalaman penulis ketika melaksanakan “sekolah GH & SAR” di hutan ciwidey, khususnya pada hari ketiga (sekolah GH & SAR berlangsung selama 4 hari 3 malam). Pada malam kedua, penulis dan teman satu tim (vidya dan anto), sedang beristirahat di camp setelah melakukan 6 jam perjalan menuju titik camp 2 yang sangat berat. Disini kami bercengkrama satu sama lain dengan tema abstrak (kadang2 membicarakan masalah cinta, persahabatan, gossip sekre (sempet2nya), diselingi dengan menghina satu sama lain, memuji diri sendiri (contoh : ngaku2 ganteng), komentar tentang jalur yang dilewatin, dll). setelah beberapa lama bercengkrama, kami memulai briefing dengan melakukan evaluasi tentang perjalanan di hari itu. Disini mungkin kesalahan tim ini, kami sedikit merasa sombong dikarenakan dari semua tim (ada 5 tim), hanya tim kami yang memenuhi target, yaitu camp di puncak kolalok. Disini kami membicarakan kehebatan kami dan berharap semoga esok harinya kami juga mampu untuk menuju titik camp terakhir (bendungan).
Hari ketiga, seperti biasa kami mengikuti ROP, bangun pagi, shalat, masak dan bla, bla, bla…intinya kami memulai perjalanan di hari ketiga menuju bendungan. Pada awal perjalanan, kami memutuskan untuk menggunakan jalur pendas LP (hanya sampai menyebrang dua sungai dari sadelan kolalok), dan diteruskan untuk mengambil arah lurus (ketika itu ada pertigaan), ternyata, jalur yang kami lewati menipir sungai diiringi pipa (tidak tahu pipanya dari mana???). di ujung sungai, kami menemukan sebuah bak, disini tim melakukan orientasi medan dan memutuskan untuk berbalik arah menuju pertigaan lagi dan mengambil arah kiri. Setelah beberapa lama berjalan, kami malah menemukan tempat camp pendas LP yang berada di punggungan 1900, disini kami sedikit berdiskusi (berdebat kecil apakah ini punggungan 1900 atau 1800, dan keputusannya adalah 1900) dan memutuskan untuk membuat jalur dari pertigaan tertutup (kayanya sih bukan, tapi kami mengasumsikannya sebagai pertigaan) yang berada dekat dengan punggungan 1900. Disini kami cukup gila, karena seenaknya menerobos hutan (menggunakan teknik man to man) yang tidak ada jalan dan menuju lembah. Ketika berada di lembah, disini kami kembali memutuskan untuk membuat jalan (jalannya mendaki) melewati rerumputan snip-snap, sayangnya, karena snip-snap terlalu lebat (kami semua gatal2 dan sudah banyak luka), kami merasa tidak kuat untuk membuat jalur dan kembali ke pertigaan dan kembali ke 1900. Kami berdiskusi kembali di 1900, dan memutuskan menuju puncakan 2002 dan mencari punggungan 1800. Di 2002, kami kembali mencoba menerobos jalur, hebatnya, sedang sibuk2nya membuat jalur dan cuaca sedang hujan lebat, salah satu personil tim harus menyetor tagihan harian (boker), oleh karena itu, saya dan satu teman saya meneruskan menerobos hutan dan yang satu lagi ke toilet (bahasa kerennya). Disini kembali terjadi petaka, sudah susah2 buka jalur, ternyata jalur yang kami buat malah berakhir di puncakan 2002 (salah bikin jalur lagi). Akhirnya kami menjemput teman kami dibawah, dan sedikit berdiskusi dan memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanan dengan menggunakan jalur baru (puncakan 2002 ambil arah kanan, ternyata jalur tersebut menuju leuweung jero kata mas deni permasadi “engkong”). Petaka kembali datang, hujan semakin deras dan setelah ½ perjalanan, kami memutuskan untuk melepas carrier (agar ketika salah jalur lagi enggak rugi naik lagi) dan mengecek jalur tersebut bersama. Jalur tersebut menurun dan berakhir di sadelan yang luas (kalau di peta seharusnya sadelannya sempit), disini kami tidak berani untuk mengeksplorasi lebih lanjut dan akhirnya kami kembali keatas dan memutuskan untuk membuat camp 3 di puncakan 2002 (kami membuat camp flysheet, padahal seharusnya bivak alam).
Pembuatan camp 3 cukup berat, karena kami harus menahan dingin dan harus membuat shelter secepatnya untuk berlindung. Setelah selesai, akhirnya vidya memasak, anto ganti baju di camp dan saya membantu sedikit memasak (nemenin vidya ngobrol). Meski dingin kami masih tetap bercengkrama satu sama lain bahkan sempat tertawa terbahak-bahak. Kemudian suasana sunyi seketika, ketika petir datang dengan suara yang sangat keras dan dekat, bahkan membuat kami sedikit tersentak, mungkin karena jarak antara kami dengan arah jatuh petir sangat dekat (sekitar ½ – 1 meter jauhnya). Disni kami terdiam, kemudian saya berinisiatif untuk mengumandangkan azan (karena konon katanya kalau mendengar petir ada sunnah untuk mengumandangkan azan (kalau sudah begini saya inget sama tuhan)). Setelah kejadian tersebut, kami shalat bergantian dan berdoa agar kami diberikan keselamatan dan dimaafkan atas segala dosa yang mungkin kami telah perbuat selama di hutan.
Dari kejadian ini, penulis menjadi sadar akan kekurangan tim (saya, vidya dan anto), yaitu lupa diri. hanya karena suatu hal yang kecil kami bisa lupa bahwasanya manusia tidak ditakdirkan untuk sombong dan hanya tuhan yang berhak. Disini Tuhan langsung menunjukan kebesaran-Nya dengan menjatuhkan petir dekat dengan camp kami untuk memperingati hamba-Nya yang lalai. Evaluasi dan saran dari penulis, ketika dirimu sedang menginjakkan kaki di gunung, jaga ucapanmu dan jangan lupa untuk beribadah, sesugguhnya bukan tim SAR, PMI dan yang lainnya yang dapat menolong, kecuali tuhan-mu.
Leave a Reply